MENURUT MUI BPJS TIDAK SESUAI SYARIAT ISLAM, HARAMKAH?

Akhir-akhir ini timbul gejolak di kalangan rakyat Indonesia. Polemik tentang BPJS yang menurut MUI tidak sesuai dengan syariat Islam, lalu apakah BPJS haram?


Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan haram. Tak hanya itu, lembaga ini juga meminta pemerintah untuk membentuk BPJS yang sesuai dengan hukum syariah.

Dari dokumen yang diterima merdeka.com, Rabu (29/7), hasil ijtimak para ulama, MUI telah melakukan kajian mendasar mengenai BPJS Kesehatan tersebut, terutama dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu'amalah. Dalam penelitian itu, MUI menilai BPJS Kesehatan belum mencerminkan jaminan sosial dalam Islam.


"Secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak," tulis MUI dalam rekomendasi hasil ijtimak.

Tak hanya itu, MUI juga menyorot denda administrasi sebesar 2 persen per bulan dari jumlah iuran tertunggak baik bagi penerima upah maupun bukan. Denda ini dibayarkan secara bersamaan.

Dari hasil pengkajian tersebut, MUI menilai penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syari'ah. Sebab, pelaksanaannya mengandung unsur gharar, maisir dan riba.

"MUI mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syari'ah dan melakukan pelayanan prima."
http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-penjelasan-mui-soal-bpjs-kesehatan-haram.html

APA ITU GHARAR, MAISIR, DAN RIBA ?

Gharar 
Gharar menurut bahasa adalah khida’ ; penipuan. Dari segi terminologi : penipuan dan tidak mengetahui sesuatu yang diakadkan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan.
Sedangkan definisi menurut beberapa ulama :
a. Imam Syafi’i adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti (tidak dikehendaki, pen.)
b. Wahbah al-Zuhaili; penampilan yang menimbulkan kerusakan atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian.
c. Ibnu Qayyim; yang tidak bisa diukur penerimaannya, baik barang itu ada maupun tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta yang liar.

Menurut Islam, gharar ini merusak akad. Demikian Islam menjaga kepentingan manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai peranan yang begitu hebat dalam menjamin keadilan.
Gharar adalah suatu kegiatan bisnis yang tidak jelas kuantitas, kualitas, harga dan waktu terjadinya transaksi tidak jelas. Aktivitas bisnis yang mengandung gharar adalah bisnis yang mengandung risiko tinggi, atau transaksi yang dilakukan dalam bisnis tak pasti atau kepastian usaha ini sangat kecil dan risikonya cukup besar.
Contoh bisnis yang mengandung unsur gharar adalah:
1. Sistem ijon
2. Jual beli atas hasil yang belum pasti.
3. jual beli ternak yang masih dalam kandungan.
4. Jual beli buah atau tanaman yang belum masa panen.
5. Jual beli yang obyek transaksinya tidak ada wujudnya (ma’dum).
Gharar dalam konteks obyek transaksi ini terjadi jika terdukung oleh hal-hal yang berikut ini:
1. Ketidakjelasan jenis obyek transaksi.
2. Ketidakjelasan dalam macam transaksi.
3. Ketidakjelasan dalam sifat dan karakter obyek transaksi.
4. Ketidakpastian dalam takaran obyek transaksi.
5. Ketidakjelasan dalam materi atau zat obyek transaksi.
6. Ketidakjelasan waktu penyerahan obyek transaksi.


Maisir
Maisir secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai suatu transaksi yang dilakukan oleh 2 (dua) pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi teresbut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu.
Rasulullah melarang segala bentuk bisnis yang mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi, & ramalan atau terkaan & bukan diperoleh dari bekerja. Rasulullah melarang transaksi muzabanah dan muhaqalah. Muzabanah; tukar menukar buah yang masih segar dengan yang sudah kering, jumlah buah yang sudah kering sudah dipastikan jumlahnya sedangkan buah yang masih segar hanya bisa ditebak karena masih dipohon. Muhaqalah; penjualan / tukar menukar gandum yang sudah kering (pasti jumlahnya) dengan gandum yang masih dipohonnya.
Maisyir adalah suatu kegiatan bisnis yang di dalamnya jelas bersifat untung-untungan atau spekulasi yang tidak rasional, tidak logis, tak jelas barang yang ditawarkan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Aktivitas bisnis yang mengandung aktivitas maisyir adalah kegiatan bisnis yang dilakukan dalam rangka mendapatkan sesuatu dengan untung-untungan atau mengadu nasib. 

Riba
Menurut etimologi riba berarti az-ziyadah. Artinya tambahan. Sedangkan menurut terminologi adalah :
اَلرِّبَافىِ الشَّرْعِ هُوَ فَضْلُ الخَالٍ عَنْ عِوَضِ شَرْطٍ ِلأَحَدٍ العَاقِدَيْنِ
Kelebihan/tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi). 
Para ulama berbeda dalam mencirikan macam-macam riba. Ibnu Rusyd menyebutkan : riba terdapat pada dua perkara, yaitu pada jual beli tanggungan, pinjaman atau lainnya. Riba dalam tanggungan (adz-dzimmah) ada dua macam. Satu diantara dua macam riba ini sudah disepakati oleh para ulama tentang keharamannya, yaitu riba jahiliyah. Riba dalam jual beli ada dua macam, yaitu nasi’ah dan twadul. Ada ulama yang membagi riba atas riba fald, riba yad, riba nasa dan riba qard. 
Al-Jaziri membagi riba atas riba nasi’ah dan riba fadl. Pembagian seperti ini banyak digunakan oleh para ulama, antara lain Ali Al-Sayis dan Ali Ash-Shabuni, dalam kitab tafsir masing-masing. 
Sedangkan Ibnu Qayim membagi riba atas dua bagian : jaiy dan khafy. Riba jaliy adalah riba nasi’ah, diharamkan karena mendatangkan mudlarat yang besar. Riba yang sempurna (riba al-kamil) adalah riba nasi’ah. Riba ini berjalan pada masa jahiliyah. Riba khafiy diharamkan untuk menutup terjadinya riba jaliy. 
Riba yang mengharamkannya disepakati oleh para ulama adalah riba jahiliyah, yang dilarang dalam Al-Qur’an. Gambarannya, mereka meminjamkan uang atau barang, bertangguh waktu dan ditentukan ada tambahan. Peminjam berkata : “tangguhkan pembayaran, aku tambah”.
Riba pada jual beli ada dua macam; nasi’ah dan tafadul. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia menolak adanya riba fadl, berdasarkan hadis yang ia riwayatkan dari nabi yang berbunyi : La riba ill fi an-nasi’ah (tidak ada riba kecuali pada tangguhan waktu). Jumhur fuqaha berpendapat terdapat riba pada keduanya (riba nasi’ah dan riba fadl). 
Secara garis besar, pandangan-pandangan tentang hukum riba di atas dapat dibagi atas dua kelompok. Kelompok pertama mengharamkan riba, besar ataupun kecil. Kelompok kedua mengharamkan riba yang melipat ganda. Tambahan yang kecil menurut kelompok kedua, tidak termasuk riba yang dihramkan. Setiap pinjaman yang disyaratkan ada tambahan waktu pengambilan, menurut kelompok pertama adalah haram. menurut kelompok kedua, yang diharamkan adalah tambahan pengembalian pinjaman yang berlipat ganda. 
Alasan-alasan yang dikemukakan kelompok pertama yang mengharamkan riba nasi’ah besar maupun kecil ialah sebagai berikut :
1. Surat Ar-Rum ayat 39
وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu masudkan untuk mencapai keridlaan Allah, maka (yang berbuat demikin) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). 
2. Surat Ali Imron ayat 130
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertawalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. 
3. Al-Baqarah ayat 275 :
... وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ....
Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 
4. Surat Al-Baqarah ayat 276 :
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ... 
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah. 
5. Surat Al-Baqarah ayat 278 – 279 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ...
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. 
6. Hadis
عَنْ جَابِرٍ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُوَكِّلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ (رواه المسلم)
Dari jabir, Rasulullah melaknat riba, yang mewakilkannya, penulisnya dan yang menyaksikannya (H.R. Muslim).
7. Hadits : Ubadah bin Al-Shamit :
عبدة قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ ص م. يَنْهَى عَنْ بَيْعِ اَلذَّهَبِ بِالذَّهَبِ وَاْلفِضّةِ بِالْفِضَّةِ وَالبِرَّ بِالبِرِّ وَالسَّعِيْرِ بِالسَّعِيْرِ وَالتَّمَرِ بِالتَّمَرِ وَالمِلْحِ بِالمِلْحِ اَلاَسَوَاءً بِسَوَاءٍ عَيْنًا بِعَيْنٍ فَمَنْ اَزْدَا اوْاِزْدَادَقعد ازلى
Ubadah berkata; saya mendengar rasulullah SAW. Melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali dengan sama (dalam timbangan/takaran) dan kontan. Barang siapa melebihkan salah satunya, ia termasuk dalam praktek riba. 
Dalam kitab Al-majmu disebutkan bahwa hadis ubadah tersebut diriwaytkan oleh Imam Muslim. Dan dijelaskan pula bahwa riba itu haram, baik yang ada di negeri Islam (dar Al-Islam) maupun dinegeri musuh (dar Al-hard). 
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka kelompok pertama mengharamkan riba secara keseluruhan, baik riba nasi’ah maupun riba fadl.
Sedangkan argumen yang dikemukakan oleh kelompok kedua (yang mengharamkan riba ad’afan muda’afan dan tidak mengharamkan tambahan yang kecil) adalah sebagai berikut : riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an adalah yang masyur dan dikenal dengan sebutan riba jahiliyah (riba al-jahiliyah). Riba ini merupakan riba nasi’ah (riba an-nasi’ah, riba tangguhan waktu), (ad’afan muda’afan), yaitu riba yang berlipat ganda. 
Mahmud Syaltut mengemukakan, riba itu dikaitkan batas pengertiannya dengan urf dimana ayat Al-qur’an diturunkan mengenai hal itu. Dan yang dimaksudkan dengan riba disini adalah riba yang berlipat ganda, yang dilarang Allah. 
Mereka juga beralasan dengan hadits yang berbunyi; la riba illa fi al-nasi’ah (tidak ada riba kecuali pada tangguhan waktu). 
Didalam al-manar disebutkan, yang dimaksud riba pada alladzina ya’kuluna al-riba (orang-orang yang memakan riba) adalah riba-riba adh-‘afan mudha’afan (riba yang berlipat ganda) sesuai dengan kaidah kembalinya ma’rifah yang kedua terhadap yang pertama, dan sesuai pula dengan kaidah membawa yang mutlaq kepada muqayyah.
http://hanan-wihasto.blogspot.com/2014/04/maisir-gharar-dan-riba.html

Dari ulasan hal diatas bagaimanakah peran pemerintah selanjutnya? pastinya akan ada pengkajian lanjutan terhadap BPJS agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat yang menggunakannya.
SHARE

Penulis

TG News hadir untuk memberikan update informasi terkini, baik informasi dari dalam maupun luar negeri.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment